Saya
membaca dan merenungkan (hadits) ketika Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengatakan, “Kita pulang dan jihad kecil menuju jihad yang lebih
besar.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa jihad yang lebih besar itu?” Rasul menjawah, “Jihad melawan nafsu.”[1]
Saya membayangkan hidup bersama Rasulullah dan para sahabatnya pada
Perang Hunain, berkenaan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala..
“Dan ingatlah peperangan Hunain,
yaitu di waktu kalian menjadi congkak karena banyaknya jumlah kalian,
maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian
sedikitpun.” (At Taubah: 25)
Akhir dan peperangan itu, kaum Muslimin
pulang dengan membawa kemenangan, yang semata-mata atas pertolongan
Allah. Kemudian mereka membahagi-bahagikan ghanimah (harta
rampasan perang). Harta itu dibagikan terutama kepada para tokoh kabilah
yang baru saja masuk Islam, dengan bagian yang lebih besar dalam rangka
melunakkan hati mereka. Bahkan, Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
memberikan puluhan unta kepada setiap orang dari mereka.
Saat itu kaum Anshar tidak mendapat bagian, karena ghanimah hanya
diberikan kepada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah setempat. Maka
timbullah di hati sahabat Anshar ganjalan dan berbagai dugaan.
Muncullah kasak-kusuk di antara mereka.
Muncul pula perasaan dongkol, hingga terlontar ungkapan dari mulut mereka, “Siapa yang mengungkapkan perkataan buruk?”
Lalu di antara mereka sendiri ada yang menjawab, “Rasulullah, beliau telah bertemu kaumnya.”
Sejenak kita berhenti dan merenung.
Bagaimana mungkin orang-orang Anshar memiliki perasaan macam-macam dan
dugaan negatif, padahal mereka adalah orang-orang terdepan dalam Islam?
Bagaimana mungkin mereka saling kasak-kusuk hingga muncul ungkapan
bernada miring, padahal mereka baru saja kembali dari Perang Hunain,
bahkan darah yang mengucur dari luka mereka pun masih segar?
Bagaimana mungkin, padahal mereka telah
berperang dengan senjatanya, membela Islam dengan mengorbankan harta,
dan meninggalkan keluarga demi perjuangan? Sungguh ini merupakan kasus
yang sangat berbahaya. Tak seorang pun dari sahabat yang menduga kasus
ini akan muncul, namun kenyataannya hal itu benar-benar terjadi dan
(sangat mungkin) akan terus berulang pada generasi berikutnya, sepanjang
zaman. Sungguh, kasus yang rumit ini lebih berbahaya daripada apa yang
terjadi pada Perang Hunain sendiri. Mengapa? Sebab Perang Hunain adalah
peperangan antara kaum Mu’minin dan kaum kafir. Dalam keadaan seperti
ini semangat kaum Mu’minin berkobar, ikatan ukhuwah dan kasih sayang di
antara mereka makin kuat, dan pengorbanan untuk membela agamanya semakin
besar.
Sementara pada kasus yang pekat ini,
dapat memicu bila tidak ada pertolongan Allah lahirnya peperangan di
antara kaum Mu’minin sendiri, meskipun di tengah-tengah mereka ada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Allah Subhanahu wa Ta’ala.
berfirman,
“Bagaimana kalian (sampai) menjadi
kafir, padahal telah dibacakan kepada kalian ayat-ayat Allah dan
Rasul-Nyapun ada di tengah-tengah kalian?” (Ali Imran: 101)
Fitnah-fitnah ini hanyalah sebuah
miniatur dari sebuah kejahatan, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang
Mahabijaksana dan Mahaagung-lah yang dapat memadamkannya. La adalah
fitnah yang hanya menimpa Nabi.
Sa’ad bin Ubadah datang menghadap
Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ada sebagian kaum Anshar
yang di hatinya muncul “ganjalan perasaan” mengenai pembagian fa’i (harta
rampasan perang) yang telah engkau putuskan. Engkau bahagikan kepada
kaum-mu dan engkau bagikan kepada kabilah-kabilah Arab dengan pembagian
yang besar. Sementara kelompok Anshar tidak mendapatkan sedikit pun dari
pembagian itu.”
Rasul berkata, “Wahai Sa’ad, kamu sendiri berada di pihak yang mana?”
Sa’ad menjawab, “Saya hanyalah bagian dari kaum saya!”
Kemudian Rasul mengatakan, “Kumpulkan kaummu di tempat ini!”
Ini merupakan peristiwa baru yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Sa’ad bin Ubadah, seorang tokoh Anshar, pergi
menghadap Rasul untuk menyampaikan persoalan ini dengan jelas, terus
terang, amanah, dan berani. Sehingga ketika Rasul bertanya, “Wahai
Sa’ad, kamu sendiri berada di pihak yang mana?”, Sa’ad menjawab, “Saya
hanyalah bagian dari kaum saya!”
Tokoh Anshar ini tidak berdiam diri
terhadap kasus yang dialami kaumnya, juga tidak mencacinya, apalagi
mencari muka di hadapan Rasulullah dengan menjelek-jelekkan mereka.
Bahkan dengan “rasa solidaritas” kepada mereka, tokoh ini mengatakan,
“Saya hanyalah bagian dari kaum saya!” Sungguh, ini merupakan sikap
jantan dan kesatria, yang mampu menggoncang jiwa.
Pada waktu Sa’ad keluar untuk
mengumpulkan sahabat Anshar di tempat yang ditentukan, tiba-tiba datang
sekelompok sahabat Muhajirin ikut masuk, tetapi dibiarkan oleh Sa’ad.
Kemudian datang lagi sekelompok yang lain, namun dilarang olehnya.
Setelah mereka berkumpul, Sa’ad
mendatangi Rasul Allah seraya berkata, “Sekelompok sahabat Anshar telah
berkumpul guna memenuhi seruanmu dan tak seorang pun yang tertinggal.”
Rasul mendatangi mereka sambil bertahmid
kepada Allah dan berterimakasih kepada Sa’ad atas perhatiannya,
kemudian bersabda, “Wahai sahabat Anshar, saya telah mendengar tentang
kalian bahwa dalam hati kalian muncul segumpal perasaan yang mengganjal
mengenai tindakanku membahagi-bahagi fa’i. Wahai kaumku,
bukankah aku datang kepada. kalian pada saat kalian tersesat, lalu Allah
tunjukkan jalan kepada kalian? Aku datang kepada kalian saat kalian
melarat, lalu Allah berikan kekayaan kepada kalian? Aku datang kepada
kalian saat kalian saling bermusuhan, lalu Allah satukan hati kalian?”
Mereka serentak menjawab, “Benar, Allah dan Rasul-Nya yang telah memberikan karunia dan anugerah.”
Rasul bertanya, “Mengapa kalian tidak mau menjawab pertanyaanku wahai, kaum Anshar?”
Mereka menjawab, “Apa lagi yang harus kami jawab wahai Rasulullah? Anugerah dan karunia hanyalah milik Allah dan Rasul-Nya!”
Kemudian Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Sungguh demi Allah, seandainya kalian mau, kalian
dapat mengatakan kepadaku, dan kalian benar adanya. Kalian akan
mengatakan, ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu
kami membenarkanmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan terabaikan,
lalu kami menolongmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan menderita,
lalu kami menampungmu. Dan engkau datang kepada kami dalam keadaan
sengsara, lalu kami membantumu.’”
Rasulullah adalah orang yang sangat
mencintai sahabatnya. Beliaulah yang mengatakan, “Sahabatku sebagai
bintang-bintang. Kepada siapa pun di antara mereka kalian mengikuti,
kalian pasti akan mendapat petunjuk.”
Para sahabat juga dipuji Allah dalam kitab-Nya,
“Muhammad itu adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras kepada
orang-orang kafir tetapi bersikap lemah lembut kepada sesamanya!”{Al
Fath:29)
“Di antara orang-orang Mu’min itu
ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada
Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah
(janjinya).” (Al Ahzab: 23)
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu bersikap rendah hati dan kasih sayang kepada mereka.
Sungguh, behau mengetahui kedudukan
mereka dan membanggakannya, beliau tidak pernah bertindak
sewenang-wenang kepada mereka. Mereka adalah generasi Islam pertama yang
unik. Dengan perasaan ketuhanan yang lembut dan akhlak nabawi yang
mulia inilah hati mereka segera berubah menjadi bersinar dan segar.
Beliaulah yang secara proaktif melayani mereka dengan penuh rasa kasih
sayang, berdialog dengan mereka dengan kata-kata yang lebih baik, yang
keluar dari lubuk hati yang paling dalam, dari aqidah yang bersih, dan
untuk tujuan yang suci.
Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ketika sahabat Anshar merasa malu untuk mengatakannya
“Sungguh demi Allah, seandainya kalian
mau, kalian dapat mengatakannya kepadaku, dan kalian benar adanya.
Kalian dapat mengatakan, ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan
didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang kepada kami dalam
keadaan terabaikan, lalu kami menolongmu. Engkau datang kepada kami
dalam keadaan mendenta, lalu kami menampungmu. Dan Engkau datang kepada
kami dalam keadaan sengsara, lalu kami membantumu.’”
Beliau seorang rasul mulia yang dapat menyelami hati para sahabatnya dengan kaidah kenabian yang penuh kejujuran dan ketawadhu’an. Suatu cara yang tidak dicemari oleh debu kesombongan dan kecongkakan.
Pernahkah Anda mendengar di dunia ini
orang yang dapat memadamkan situasi panas dengan kasih sayang dan
kedekatan? Pernahkah Anda mendengar di dunia ini seseorang yang berkata
tentang dirinya, “Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan,
lalu kami membenarkanmu. Engkau datang kepada kami dalam keadaan
terabaikan, lalu kami menolongmu. Engkau datang kepada kami dalam
keadaan menderita, lalu kami menampungmu. Dan Engkau datang kepada kami
dalam keadaan sengsara, lalu kami membantumu.”
Sungguh, tidak pernah ada kecuali seorang Nabi yang punya mukjizat.
Dalam peristiwa ini telah tercatat suatu fenomena kepemimpinan terbaik dan seorang Nabi yang,
“Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mu’min.” (At Taubah: 128)
Dialah seorang manusia “agung” yang
pernah tampil di pentas dunia ini. Beliau tidak menunjukkan sikap
permusuhan atau sikap membela diri, tetapi beliau justru menjelaskan
sebagaimana anjuran Allah,
“Ajaklah (manusia) ke jalan ‘Tuhanmu
dengan cara yang bijaksana dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang lebib baik.” (An Nahl: 125)
Adakah cara yang lebih baik daripada
membalut luka dan menyatukan hati untuk menarik kebahagiaan? Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan keutamaan untuk pemiliknya.
Dengan inilah akan muncul keutamaan-keutamaan yang lain, akan dapat
menumbuhkan jiwa yang bersih, dan kasih sayang menjadi semakin subur.
Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai
sahabat Anshar, apakah kalian dapatkan dalam diri kalian kecintaan akan
sepotong dunia, yang saya gunakan untuk melunakkan hati suatu kaum
sehingga mau masuk Islam, sementara saya sudah tidak meragukan lagi
keislaman kalian?”
Dengan nasihat ini, Rasulullah ingin
memotivasi iman orang-orang Anshar dan mengingatkan masa lalu mereka
yang cemerlang. Dengan cara ini beliau mengingatkan kepada mereka yang
lupa bahwa pada prinsipnya, jihad itu mengentaskan manusia dari
kegelapan menuju cahaya dan menarik mereka ke dalam Islam. Oleh karena
itu, Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan sedikit ghani-mah dengan
harapan dapat melunakkan hati suatu kaum yang baru mengenal Islam, agar
masuk Islam dan bertambah keimanannya. Itulah sebenarnya inti tujuan
sikap beliau. Tujuan da’wah adalah untuk menyelamatkan manusia. Harta gbanimah, berapa pun nilainya, hanyalah secuil dunia. Apa yang ada di sisi Allah-lah yang lebih baik dan abadi.
Seorang Mu’min harus mengingat kembali
prinsip dalam setiap pengambilan sikap saat menyeru “Allah Tujuan Kami.”
Sesungguhnya inilah makna ungkapan Rasulullah, “Saya percaya pada
keislaman kalian!” yakni percaya pada pemahaman dan kesadaran iman para
sahabat yang utuh.
Selanjutnya Rasulullah mengatakan,
“Wahai sahabat Anshar, apakah kalian tidak rela bila orang lain pergi
membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah?”
Sungguh suatu sentuhan ruhiah yang
mengesankan dan besar pengaruhnya bagi jiwa. Orang lain pulang dengan
membawa sepotong dunia yang fana, sementara yang lain pulang dengan
disertai makhluk yang tercinta di sisi Allah, yaitu Muhammad Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Alangkah terhormatnya yang mendapat bagian
ini! Alangkah bangga dan mulianya mereka! Bahkan setelah itu, mereka
masih mendapat syafaat dan kebersamaan dengan Rasul di hari Kiamat
nanti.
Berikutnya Rasulullah mengatakan, “Demi
zat yang jiwaku di tanganNya, seandainya tidak ada hi) rah niscaya saya
adalah salah seorang dari kaum Anshar. Seandainya seluruh manusia
menempuh jalan di suatu lereng bukit dan kaum Anshar menempuh jalan di
lereng bukit yang lain, saya akan lewat di lereng bukit bersama
orang-orang Anshar. Ya Allah, rahmatilah sahabat Anshar, anak-anak, dan
cucucucu mereka.”
Demi mendengar itu semua, menangislah
mereka hingga janggut mereka basar dengan air mata. Di antara sedu-sedan
itu mereka berkata, “Kami rela mendapat bagian Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam!”
Ungkapan Rasulullah ini pada hakikatnya
ditujukan untuk seluruh umat manusia. Suatu ungkapan yang membasahi jiwa
dan menyentuh perasaan. Rasul mengutamakan mereka (kaum Anshar) atas
kaum yang lain karena jasa, perlindungan, dan pertolongan mereka.
Alangkah senangnya bila waktu itu kita termasuk di antara mereka. Adakah
keinginan yang lebih dari itu? Seandainya kaum Anshar menginfaqkan
semua yang ada di muka bumi ini, sungguh hal itu tidak dapat mencapai
ketinggian darjat seperti “menara” ini, atau kebanggaan dan keberhasilan
mendapat syurga, serta keredhaan Allah.
Saudaraku yang mulia, tahukah Anda
bagaimana nasib manusia dulu, sekarang, dan yang akan datang? Tahukah
Anda bagaimana terapi menghadapi ujian dan rintangan yang menantang?
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah
adalah dalam rangka mencerahkan nasib umat manusia, dengan sebuah
“terapi.” Sungguh suatu terapi yang bersifat memadukan bukan memisahkan,
membangun bukan merobohkan, menambah kecintaan dan kedekatan,
mengalahkan godaan-godaan nafsu, dan mengangkat manusia menuju darjat
aqidah dan tujuan yang tinggi. Suatu terapi yang jelas-jelas dalam
rangka merealisasikan cita-cita tertinggi dengan berdirinya daulah
Islamiyah yang selalu mengibarkan panji Al Qur’an.
Tiada Zat yang wajib disernbah kecuah Allah, dan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah utusan Allah.
[1]
Telah sering kita dengar dari kalangan muslimin bahwa memerangi musuh
adalah ‘jihad kecil’. Adapun ‘jihad besar’ adalah memerangi hawa bafsu.
Banyak yang berdalil dengan sebuah riwayat, ‘kita pulang dari jihad
kecil menuju jihad besar.” Para sahabat bertanya, “Apakah jihad besar
itu?” Rasulullah saw. menjawab, ‘Jihad terhadap hati atau jihad melawan
hawa nafsu.”
Dengan hadits ini, sebagian orang bermaksud memalingkan orang lain dari memahami pentingnya jihad, persiapan untuknya tekad untuk menegakkannya, dan menyiapkan berbagai sarannya. Adapun riwayat hadits diatas sebenarnya bukanlah hadits shahih. Berkata Amirul Mukminin dari hadits Al-Hafidz ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus, “Hadits itu memang sangat masyhur, Namun sebenarnya ia adalah ucapan Ibrahim bin ‘Ablah.”
Berkata Al Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya’Ulumuddin, “Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad dha’if dari Jabir. Dan diriwayatkan oleh Khatib dalam tarikhnya dari Jabir, ‘Jika saja hadits ini shahih, maka sama sekali tidak benar jika dipahami sebagai memalingkan orang dari jihad dan persiapan bagi penyelamatan negeri kaum muslimin. Namun artinya adalah kewajiban bagi seseorang untuk memerangi dirinya sehingga bersihlah seluruh amalnya hanya karena Allah. Maka yang demikian itu, ketahuilah.’” (Hasan Al Banna – Risalah Jihad)
Dengan hadits ini, sebagian orang bermaksud memalingkan orang lain dari memahami pentingnya jihad, persiapan untuknya tekad untuk menegakkannya, dan menyiapkan berbagai sarannya. Adapun riwayat hadits diatas sebenarnya bukanlah hadits shahih. Berkata Amirul Mukminin dari hadits Al-Hafidz ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus, “Hadits itu memang sangat masyhur, Namun sebenarnya ia adalah ucapan Ibrahim bin ‘Ablah.”
Berkata Al Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya’Ulumuddin, “Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad dha’if dari Jabir. Dan diriwayatkan oleh Khatib dalam tarikhnya dari Jabir, ‘Jika saja hadits ini shahih, maka sama sekali tidak benar jika dipahami sebagai memalingkan orang dari jihad dan persiapan bagi penyelamatan negeri kaum muslimin. Namun artinya adalah kewajiban bagi seseorang untuk memerangi dirinya sehingga bersihlah seluruh amalnya hanya karena Allah. Maka yang demikian itu, ketahuilah.’” (Hasan Al Banna – Risalah Jihad)


14.32
PKS Lover
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Pesan di sini